KOMPAS.com - Anda pastinya sudah mendengar kabar baru bahwa posisi Indonesia sebagai negara dengan jumlah populasi terbesar nomor empat di dunia saat ini sudah tergeser oleh sebuah negara baru.
Negara baru tersebut dinamakan Republic of Facebook di mana populasinya kini sudah tumbuh hingga 250 juta. Sekitar 120 juta di antaranya mengunjungi ‘negara’ tersebut setidaknya sekali sehari. Menurut “Badan Pusat Statistik” Facebook, lebih dari dua per tiga penduduk Republik Facebook adalah orang dewasa. Pertumbuhan tercepat populasinya ada di segmen 35 tahun ke atas. Menurut Erick Qualman dalam Socialnomics, segmen yang juga cukup pesat tumbuhnya adalah wanita umur 55-65 tahun.
Dari sisi hubungan sosialnya, penduduk di Facebook memiliki rata-rata 120 kawan. 30 juta orang terus mengabarkan statusnya setiap hari paling tidak sekali. Banyak aktivitas sosial yang juga dilakukan di sana oleh para penduduknya. Setiap bulannya sekitar satu miliar foto dan 10 juta video terus diupload di sana. Total konten yang diisi dan di-share oleh penduduknya—dalam bentuk web links, berita baru, postingan blog, catatan harian, dan foto—mencapai satu miliar setiap minggunya.
Facebook ibarat sebuah negara yang memiliki banyak suku dan etnis, karena sampai saat ini ia telah menggunakan 50 bahasa lain selain bahasa Inggris. Dari sini dapat dilihat bahwa penduduknya memang tidak hanya berasal di Amerika saja. Hingga saat ini 70 persen dari penduduknya berasal dari orang di luar Amerika.
Salah satu kekuatan yang mendorong pertumbuhan jumlah pengguna Facebook adalah mobile connector. Di dunia, ada sekitar 65 juta user aktif yang mengakses jejaring sosial ini lewat handphone. Menurut data yang dikeluarkan oleh Facebook, user yang menggunakan aplikasi Facebook di handphone praktis menjadi 50 persen lebih aktif ketimbang mereka yang non Facebook-mobile. Di 60 negara di dunia saat ini telah ada 180 selular operator yang menjual produk telekomunikasinya menggunakan Facebook Mobile.
Sejak Juni 2009 lalu, menurut kabar, Facebook telah menjadi web nomor satu yang paling sering diakses oleh orang di Indonesia yang kini jumlah pengguna internet diperkirakan sekitar 31 juta orang.
Data-data tersebut semakin membuktikan bahwa teknologi web 2.0 dengan berbagai platform social media lainnya telah dan bakal terus mentransform kehidupan kita sehari-hari. Situs jejaring baru mungkin bakal terus berdatangan. Kalau lima tahun yang lalu kita terlarut dalam friendster-an, sekarang kita jadi getol facebook-an, ngetwit lewat Twitter dan lain sebagainya. Merek-nya mungkin berbeda-beda, namun tujuan dasarnya tetap sama yaitu untuk social networking.
Revolusi baru penggerak perubahan sosial budaya
Seperti yang dikatakan dalam kolom ini sebelumnya, perkembangan teknologi dengan aplikasi berbasiskan Web 2.0—yang memberikan kesempatan bagi pengguna untuk read, write, and share dalam sebuah komunitas jejaringan sosial—telah menjadi bagian utama yang membawa kita masuk ke era New Wave. Ia tidak saja menjadi sebuah revolusi, namun juga penggerak perubahan sosial budaya.
Berbagai aplikasi jejaring sosial seperti Wikipedia, Youtube, Twitter, Facebook, Secondlife, eRepublik, dan lain sebagainya menjadi bagian dari revolusi yang menggerakan kembali semangat komunal di dalam kehidupan sosial budaya masyarakat. Ia berbasiskan jejaring komunitas; merupakan wadah untuk jejaring komunitas; dibesarkan oleh komunitas; kontennya diatur dan diisi secara kolektif oleh anggota komunitasnya sendiri.
Apa yang dikatakan oleh Majalah Newsweek awal Februari 2009 bahwa “We are all Socialist Now” dan juga Kevin Kelly di majalah Wired edisi Mei 2009 yang mengatakan “The New Socialism: Global Collectivist Society Is Coming Online” mungkin ada benarnya.
Fenomena Web 2.0 ini seperti mengingatkan kita kembali ke peribahasa yang populer di Indonesia “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.” Ia berlandaskan filosofi paham sosialisme yang bersemangatkan persaudaraan, bertujuan untuk memakmurkan dengan usaha kolektif yang produktif. Semua individu berorientasikan kepada terciptanya suatu kebahagiaan bersama, dan itu tercipta dari masyarakat yang hidup secara kolektif dan hidup saling tolong menolong.
Jika dilihat dari sejarah dan perkembangannya di era sekarang, maka tak heran kalau platform yang berbasiskan kolektivisme dan komunal, baik itu di dunia online dan offline, menjadi mudah ‘dijual’ untuk orang-orang di Indonesia.
Meskipun dulu struktur dan politiknya sangat vertikal, Indonesia, notabene-nya adalah collectivist society. Struktur sosial dan pola budayanya bisa dibilang sudah sejak dulu bersemangatkan horisontal, mulai dari aktivitas arisan, gotong-royong, musyawarah untuk mufakat, kerja bakti, kalau sakit saling mengunjungi, sampai beramai-ramai mengantar jenazah.
Berbagai macam kekacauan yang belakangan terjadi, seperti aksi terorisme, tsunami, sampai gempa bumi di Tasikmalaya baru-baru ini, terus memanggil kembali rasa kemanusiaan dan solidaritas masyarakat. Dan itu terlihat secara langsung dari berapa sering kita mendengarkan dan menyanyikan lagu “Berita Kepada Kawan” yang dibawakan Ebiet G. Ade di dunia offline, sampai ekspresi yang kita berikan di Twitter, Facebook, dan lain sebagainya.
Di tengah berkembangnya dunia teknologi informasi dan komunikasi, kita semua saling terjaring dalam dunia sosial dan budaya yang baru yang lebih humanis. Contoh di dunia maya sudah membuktikan pula bahwa agama (belief) yang bersifat vertikal bisa hidup berdampingan dengan aspek kemanusiaan (humanity) dan sosial-budaya yang bersifat horizontal.
Di era New Wave, dengan segala platform yang kita gunakan, kita dapat menjelajah galaksi dan membuka cakrawala baru di mana tiap-tiap manusia semakin kecil dan tidak berarti. Pertentangan agama dan etnik yang sangat vertikal menjadi tidak ada artinya. Karena di era ini, embel-embel suku, agama, ras, etnis, lantas nyaris tidak kelihatan lagi secara nyata. Yang terlihat adalah semangat horisontal yang berlandaskan kemanusiaan dan rasa persaudaraan.
Hermawan Kartajaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar